Author Archives: Berkecek

Setahun di Manila

InShot_20180522_135355262.jpg

 

Hari ini setahun yang lalu aku tiba di Manila. Sabtu, 19 Mei 2017. Saat itu bukan kali pertama menginjakkan kaki di Filipina, tapi untuk pertama kali akan tinggal di negara yang berbeda. Memulai pekerjaan baru, kehidupan baru.

Rasanya antusias. Waktu duduk di bangku SMA, aku mengimpikan kelak menjadi seorang diplomat. Menetap di satu negara dalam kurun waktu tertentu lalu pindah lagi bertugas di negara lain. Meski kemudian aku kuliah di jurusan Komunikasi, bukan HI, tapi angan itu masih terus kukejar dengan memilih magang di Kemenlu. Kesempatan yang akhirnya membuatku sadar, ketertarikan menjadi diplomat bukan karena profesinya tapi karena ingin punya pengalaman tinggal di berbagai negara berbeda.

Hari itu mimpi 10 tahun lalu menjadi nyata. Walau Filipina bukan negara yang pernah ada dalam imajinasiku, terbersit pun tak pernah. Dibalik rasa antusias itu ada rasa khawatir pada berbagai kabar yang selalu kita dengar di Indonesia; penculikan nelayan, gembong narkoba, hingga kekejaman Duterte. Apakah ini akan menjadi negara yang bersahabat atau harus selalu waspada setiap saat?

Hari pertama bekerja dipenuhi berbagai kejutan seru. Kami, tiga orang karyawan baru hari itu, memulainya dari dapur. Memotong brokoli, membuat lemon tea, membuang stiker yang menempel di kulit apel, hingga menyajikan makan siang bagi sekitar 250 Imagineers. Migo menyebut seluruh karyawannya sebagai Imagineer, gabungan dari imagination dan engineering.

Aku bekerja di Migo. Start-up di bidang inovasi teknologi yang menyediakan akses bagi konten hiburan tanpa perlu menggunakan koneksi internet. Ia bermarkas di Taipei, Taiwan, namun menjalankan operasi bisnisnya di Manila, Filipina. Kultur perusahaan ini memang berbeda, setidaknya bagiku. Itu pula yang menjadi motivasi utamaku tertarik bergabung di sana. Kesempatan tinggal di luar negeri kemudian menjadi sebuah bonus yang melengkapi keputusan itu.

Seminggu pertama itu kami lewati dengan berbagai sesi, di kantor maupun di kawasan pemukiman, tempat produk Migo tersedia. Memahami peran tiap karyawan, hingga memahami Manila dan kehidupannya. Filipina adalah bangsa yang cukup terbuka dengan pendatang. Seringkali mereka bahkan lebih ramah begitu mengetahui aku pendatang dari negara lain, setelah semula mengira aku pinoy, orang lokal.

Indonesia, Malaysia, dan Filipina, berasal dari ras yang sama, Austronesia. Membuat perawakan manusianya hampir sama. Ini menjadi keuntungan sekaligus tantangan bagiku. Suatu kali saat sedang jalan-jalan ke Vigan, 10 jam perjalanan busa dari Manila, kami terlibat tawar menawar dengan seorang pengelola rental mobil. Kami berusaha tak terlihat sebagai turis asing, khawatir mendapatkan harga yang lebih mahal. Namun ia mulai curiga saat kami kerap meresponnya dengan Bahasa Inggris. “Ano ng pangalan mo po?” kataku seketika. Aku menanyakan namanya siapa. Tak begitu nyambung dalam kaitannya dengan negoisasi harga, tapi cuma itu kalimat dalam bahasa Tagalog yang terlintas di kepalaku. Hasilnya, pembicaraan itu berakhir dengan harga yang kami inginkan.

Keuntungan “harga lokal” memang sering kami dapatkan. Meski pada banyak kesempatan lain kami harus mengakui berasal dari Indonesia atau sok-sokan bertagalog dengan kosa kata yang terbatas. Satu kali dalam sebuah perjalanan dari Batangas menuju Manila, aku bertanya pada pengemudi bus, jam berapa kita akan berangkat. “Anong oras po?” tanyaku. “Wala bla bla bla bla bla bla..,” jawabnya panjang lebar. Tak satu pun yang kumengerti. Tak ada angka di sana. Yang kudengar kemudian adalah derai tawa teman-teman.

Filipino (sebutan bagi orang Filipina) sebenarnya memiliki pemahaman Bahasa Inggris yang cukup baik. Sejak Amerika membeli kepulauan ini dari Spanyol tahun 1898, mereka mengajarkan bahasa Inggris secara masif, menggunakannya dalam ruang-ruang kelas sampai pemerintahan. Hingga munculah Taglish, percampuran Tagalog dan English, yang menjadi bahasa sehari-hari masyarakat di Manila hingga kini.

Kondisi ini menjadi keuntungan bagi para warga negara asing. Komunikasi bukan kendala berarti. Membuat kami beberapa orang Indonesia ini tak ragu untuk bepergian menjelajah sana sini. Saat tawar menawar gunakan Tagalog yang seadanya itu, sedang urusan lain cukup berbicara bahasa Inggris.

Orang-orang Indonesia itu adalah teman-teman baru yang kutemui di sana. Di Migo, aku bersama Ina dan Susi, dua alumni Pengajar Muda (PM) dari berbeda angkatan. Lalu kami bertemu alumni PM lain, Angga, yang kemudian menghubungkan kami pada teman-teman Indonesia lain di Nestle, tempat mereka bekerja. Kami kemudian menjadi teman perjalanan, menjelajah banyak tempat di negara itu, hingga menjadi keluarga baru, mengisi kerinduan di perantauan.

Saat rindu makanan Indonesia, kami masak bareng. Rindu nonton film Indonesia, kami nonton bareng. Rindu berbicara menggunakan bahasa Indonesia, kami tinggal ketemu dan saling ledek satu sama lain.

Rasa senasib di rantau juga membawaku pada teman-teman lain lewat pengajian dua mingguan di Masjid At-Taqwa KBRI Manila. Sharing destinasi wisata, makanan halal, perkara transfer peso ke rupiah, hingga mengenal komunitas muslim filipino lain. Lewat jejaring pengajian ini pula kami memiliki suplai sambal yang rutin tiap minggu.

Kebaikan teman-teman Filipino di kantor juga satu hal yang patut disyukuri. Selain ramah dan terbuka, mereka juga senang menjadi guide, mengenalkan kami pada hal-hal menarik di negaranya. Mel Jamora menunjukkan kami Golden Mosque dan Muslim Town di Quiapo saat bulan puasa tahun lalu. Itu kali pertama ia memasuki masjid. Kami lalu ngabuburit di kota tua Intramuros dan belajar tentang Rizal, sang pahlawan nasional. Pada akhir pekan yang lain ada Peter yang membawa kami menyusuri Metro Manila dengan ferry, mengarungi sungai Pasig. Orang Manila sendiri tak banyak yang pernah menaiki transportasi alternatif ini karena tak tahan dengan aroma sungai itu. Kami lalu dikenalkan pada pusat-pusat keramaian macam Baclaran yang menjual barang-barang dengan harga miring, hingga pusat grosir Divisoria dan Recto. Dua tempat terakhir bersama Dexter, yang merelakan hari liburnya berdesak-desakan dengan kami di sana.

Ada banyak tempat dan teman-teman lain yang membantuku mengenal Manila. Eds misalnya salah satu kawan yang cukup sering mengajak ke UP (University of Philippines), almamaternya dan mengeksplorasi makanan-makanan lezat di sana. Ada yang ngajak ke museum, hingga nonton bintang bertebaran di planetarium. Rangkaian aktivitas yang membuatku sadar meski sudah tinggal hampir lima tahun di Jakarta, aku belum pernah ke planetarium atau menjelajahi museum-museum di Kota Tua.

Setahun ini rasanya berhasil membuatku terus belajar. Beradaptasi dengan lingkungan baru, orang-orang baru, kultur yang berbeda, dan melihat Indonesia dari luar. Kita perlu bersyukur sebagai orang Indonesia, tapi tak ada yang bisa disombongkan, apalagi sok tahu. Menyadarkanku untuk terus membaca lebih banyak buku, lebih rajin mendengar, dan melangkahkan kaki lebih sering, lebih jauh.

Rasanya inilah dulu tujuan dari mimpi masa remajaku. Mengunjungi suatu negara bukan sekedar jalan-jalan ke tempat wisata, tapi juga mengenal masyarakat, budaya, sejarah, hingga sosial politiknya. Menetap dalam jangka waktu tertentu memberikan kesempatan untuk mengeksplorasi hal-hal tersebut.

Pertanyaanku saat awal datang dulu bisa jadi benar keduanya. Manila cukup bersahabat dengan orang-orang-orangnya yang terbuka tapi juga perlu selalu waspada dengan mudahnya kepemilikan senjata api di sana. Angga temanku, pernah ditodong pistol saat hampir sampai di depan kontrakannya, membuat ia terpaksa memberikan segala barang berharga. Atau saat menitipkan barang sebelum masuk ke ruangan planetarium, handphone kami bersebelahan dengan titipan pistol milik orang lain. Aku bersyukur tinggal di kawasan yang relatif aman dan sangat nyaman untuk berkehidupan sehari-hari.

Hari ini di hari yang sama pada tahun lalu, 12 bulan terlewati. Perjalanan itu ada naik dan turunnya. Merasakan sepinya berpuasa saat Ramadhan, tapi kemudian begitu sumringah melihat lontong opor di KBRI saat Lebaran. Masih banyak sudut Manila yang belum kujelajahi, pertanyaan-pertanyaan sosiokultural yang belum menemukan jawaban, hingga pekerjaan di kantor yang tampaknya akan memasuki babak baru.

Hidup di rantau memang tak selalu memberikan rasa nyaman. Tapi pengalaman baru yang didapat tiap saat tak hanya memberi perspektif baru, sering kali ia juga menjadi jalan untuk semakin mengenal dirimu.

Kita-kits!

 

Sabtu, 19 Mei 2018, dalam perjalanan Manila-Jakarta untuk sebuah jeda.

Makan Siang

InShot_20170320_205232

“Dulu kita sama-sama naik kereta api ke Pekalongan. Masih ingat kau?”

Tok Ibu berbicara diantara suapan makan siangnya. Tahun ini Ia berusia 75 tahun. Tambahan angka yang membuat nafsu makannya makin tak berselera. Cerita yang terangkai pada tiap jeda kunyahan barangkali sebuah hiburan dari rutinitas menelan.

Kami makan siang bersama, aku dan Tok Ibu. Berbagai makanan tersaji di atas meja makan bulat berbahan marmer. Gulai masam ikan. Ayam goreng bumbu lengkuas. Sambal goreng pete. Tumis kangkung. Tok Ibu suka melihatku makan dengan lahap. Ia tersenyum senang.

Tiap pulang ke Medan, aku suka makan siang di rumah. Sebuah ritual. Menemani Tok Ibu sambil menyegarkan ingatan masa lalu. Ia suka mengenang perjalanan-perjalanan kami bersama Tok Papah, almarhum kakekku. Dulu kami sering melancong bertiga.

Tok Ibu adalah ibu dari ibuku. Kami para cucu memanggilnya Atok. Orang tua kami menyebutnya Ibu. Sejak kecil kami memanggilnya Tok Ibu.

Ia memiliki tujuh anak. Enam perempuan, satu laki-laki. Perjalanan naik kereta api ke Pekalongan itu untuk menjenguk cucunya yang baru lahir, sepupuku, putri dari satu-satunya anak lelaki mereka. Istrinya orang Pekalongan. Kami berangkat berempat dari Gambir. Tok Papah, Tok Ibu, aku, dan Ayahanda’, pamanku satu-satunya itu yang menjemput kami dari Jakarta. Aku berumur lima tahun.

Saat jam makan siang, petugas kereta berkeliling menawarkan dagangan mereka pada para penumpang. Ayahanda’ pesan nasi goreng, aku nasi telur. Tok Ibu dan Tok Papah tak ingat makan apa. Telur di piringku baru habis setengah ketika Ayahanda’ menambah satu porsi lagi nasi goreng. Ia begitu menikmati makan siang di tengah goyangan kereta. Padahal saat kucoba, rasanya biasa saja. Mungkin tak butuh rasa untuk sekedar memuaskan selera. Kami terkikik.

Setelah makan, perutku malah meringis. Agaknya ini akibat telur sambal tadi yang terlalu pedas. Tok Ibu mengajakku ke kamar kecil. Tempat pembuangan di kereta api selalu berada di ujung gerbong. Suara kereta terdengar begitu bising. Lajunya terasa cepat. Lubang klosetnya bolong. Aku berjongkok sambil memandangi bebatuan di bawah sana. Aku geli sendiri membayangkan kotoran itu kelak menjadi mainan anak-anak. Kereta itu melesat lewati banyak kampung dengan jejak peninggalan di sepanjang jalur. Jejak tinja.

Hanya dua momen itu yang kuingat dari perjalanan ke Pekalongan. Pengalaman baru dan lucu. Pulang dari sana kami sempat tinggal beberapa waktu di Jakarta. Bermalam di rumah Ayahanda’ di Kalibata. Aku sempat merajuk karena susu yang kuminum rasanya berbeda. Tok Ibu mengganti Milo dengan Ovaltine. Sama warna beda rasa. Aku mogok minum susu.

Perkara lidah terus bermasalah. Sebelum berangkat, Tok Ibu sudah berpesan agar aku memakan apa saja hidangan yang tersedia. Aku menyanggupi. Tapi bagaimana mau menelan kalau tak suka? Malam itu lauk makan kami soto. Bening. Aku biasa makan soto santan. Untunglah ada kerupuk putih. Tok Ibu menyulangiku dengan nasi putih. “Ada lauk enak malah engko makan nasi cuma pakai kerupuk,” ejek Tok Papah.

Banyak hal baru yang kualami lewat perjalanan bersama mereka. Aku baru tahu kalau pecal lele itu tidak ada pecalnya saat diajak Tok Papah makan di sebuah warung di Palembang. Aku baru menyadari makna jodoh yang sebenarnya saat mereka bilang, tiap malam selalu banyak orang pacaran di Bukit Jodoh. Saat itu kami sedang mengunjungi tanteku yang paling muda di Batam. Kami juga pernah dimarahi suster. Saat aku menemani Tok Papah di rumah sakit, kami bercakap-cakap hingga lewat tengah malam. Ia cerita tentang bentuk negara federal, saat negeri ini bernama Republik Indonesia Serikat. Aku kelas 6 SD ketika itu.

“Sayang kali Atok Papah itu sama kau, Nan.” Matanya berkaca-kaca.

Postur orang tua di hadapanku ini kecil, kurus. Tangan kirinya tak lagi berfungsi karena serangan stroke. Uban sudah memenuhi kepala. Dasternya kebesaran. Suaranya lirih, agak gemetar. Mulutnya mengunyah nasi dengan gulai masam ikan dan sambal mangga.

“Dulu kau waktu kecil habis mecahin guci-guciku. Tapi habis itu aku yang dimarahin Tok Papah karena marahin kau. ‘Siapa suruh kau taruh guci di situ. Udah tahu dia suka main di sana’, katanya.” Tok Ibu tak pernah bosan menceritakan kisah itu.

Kenanganku tentang peristiwa pecah guci itu sirna tak berbekas. Aku bilang, saat Ia membawaku ke salon dan memakaikan baju pengantin melayu untuk menyambut walikota pada pembukaan pameran bunga telah menutupi segala ingatan lain. Ia tergelak. Wajahnya bersemburat. Betapa berharganya sebuah album nostalgia.

Ketika pembicaraan berakhir dan pandanganku mulai beralih ke layar ponsel, Tok Ibu belum lagi selesai makan. Ia masih berusaha menghabiskan. Namun, derai tawa dari gerbong kereta api yang melaju masih terus menyertai, ke mana pun kakiku melangkah. Makan siang itu telah memupuk ingatan terbaik kami.

Manusia, Pembangunan, dan Angka-angka

Gemuruh suara traktor tak lagi menjadi kejutan dalam  beberapa tahun belakangan. Masyarakat semakin akrab sejak jalan dan pelabuhan mulai dikerjakan. Apalagi bagi anak-anak muda yang menjadi kuli angkut di dermaga. Mereka makin kenal uang sejak kapal barang mulai sering berlabuh.

IMG_0074

Setelah pemekaran Kabupaten Nduga tahun 2008, kampung Mumugu Batas Batu disiapkan menjadi pintu masuk perdagangan. Posisinya memang strategis, berada di perbatasan Kabupaten Asmat dan Nduga. Orang-orang dari luar pun mulai datang. Jalan menuju kawasan pelabuhan kini mulai diisi kios-kios pedagang. Mereka kebanyakan dari Sulawesi hingga Jawa, menjual sembako hingga pakaian.

Perputaran uang dan peralihan lahan kemudian jamak terjadi dalam waktu singkat. Masyarakat yang hidup dari hasil hutan dan berburu hewan,  tiba-tiba dihadapkan pada sistem ekonomi modern. Persetujuan mereka jelas tak dibutuhkan. Pusat, sebagaimana mereka menyebut pemerintahan di Jakarta, kerap menjadi pihak yang paling tahu atas hidup orang Asmat.

Sementara manusianya tak juga disiapkan. Mayoritas warga buta huruf dan tak terlatih memiliki keahlian tertentu kecuali meramu dan memangkur sagu. Tak adanya aktivitas sekolah sekian lama kian terasa, ketika laju pembangunan semakin menderu. Kealpaan baca tulis hitung akan menjerat mereka pada kesenangan semu. Sehingga berkembangnya wilayah hanya mengantarkan para tuan tanah ini menjadi buruh di tanah ulayat sendiri.

Apa yang terjadi di pedalaman Papua itu merupakan salah satu potret pembangunan Indonesia saat ini. Upaya Presiden Jokowi melakukan percepatan infrastruktur patut diapresiasi. Ketimpangan harga yang selama ini terjadi pada daerah-daerah di wilayah timur berusaha diatasi dengan menggenjot pemenuhan prasarana.

Target pembangunan tak main-main, 1.000 km jalan tol, 49 waduk, dan 35.000 MW listrik dalam lima tahun. Jokowi memantau sendiri seluruh proyek itu, berpindah provinsi selang sehari, termasuk telah mengunjungi Papua tiga kali untuk meresmikan berbagai proyek di sana. Belum pernah ada presiden yang segetol itu sidak sana sini.

Dalam RPJMN 2015-2019, disebutkan pada akhir pemerintahan ini tingkat kemiskinan akan berada di angka 7-8 persen. Target inflasi 3,5-5 persen, dan pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen, meningkat drastis dari capaian tahun 2014 yang berada di level 5,02 persen.

Dengan angka-angka itu, secara keseluruhan negara ini bisa jadi akan tampak menjadi lebih sejahtera dengan adanya penyebaran pusat-pusat pertumbuhan. Tapi membangun tanpa menyiapkan manusianya sama saja dengan menyelesaikan masalah dengan menyisakan masalah yang lain.

Pendidikan yang rendah hanya akan membuat mereka kalah bersaing dari para pendatang. Ketimpangan pembangunan yang berusaha diatasi pemerintah pada akhirnya justru membawa ketimpangan sosial di masyarakat. Pertumbuhan ekonomi di satu pihak dan marginalisasi masyarakat asli di pihak lain, adalah salah satu pemicu kecemburuan sosial yang setiap saat dapat memicu gesekan.

Apakah presiden turut memastikan kehidupan warga pasca terjadinya pembangunan? Bahwa pembangunan tak hanya berujung capaian angka-angka pertumbuhan, tapi juga perubahan sosial ekonomi masyarakat. Jutaan warga yang harus merelakan tanahnya atas nama kepentingan umum itu perlu didengar suaranya. Mengapa para petani Pegunungan Kendeng menolak pabrik semen, mengapa masyarakat Batang menolak PLTU, atau mengapa orang-orang Marind di Merauke menolak hutan sagu mereka berganti menjadi sawah.

Ruang yang disediakan bagi keterlibatan penduduk lokal sangat minim. Akibatnya, permasalahan ekonomi masih akan terus menjadi tantangan besar, seperti penggusuran, konflik lahan dan upah buruh. Perebutan lahan terjadi antara properti besar dan rakyat atau antara rakyat dan korporasi perkebunan. Situasi ini menjadi arena pertarungan bagi masyarakat yang merasa kehidupannya direbut.

Dampak sosial pasca pembangunan harus mendapat tempat yang setara dengan perencanaan pembangunan. Bukan hanya pembangunan fisik, tapi juga non fisik. Sinergi antar kementerian diperlukan, saat kementerian bidang ekonomi menyelesaikan ratusan proyek strategis nasional, kementerian lain di bidang sumber daya manusia menyiapkan masyarakatnya. Rakyat membutuhkan tenaga pendidik dan fasilitator pendamping, bukan polisi atau tentara yang menyingkirkan mereka. Revolusi mental tak hanya jargon bukan?

Pembangunan di masa depan sebaiknya berorientasi keuntungan jangka panjang dengan cara-cara yang lebih ramah lingkungan. Bukan dipaksakan demi pemenuhan capaian angka-angka. Investasi tak hanya pada sektor industri, tapi yang utama pada manusia. Membuat penduduk lokal berdaya untuk memanfaatkan potensi wilayahnya.

Rakyat perlu diberi ruang dan diikutsertakan dalam proses transformasi itu. Percepatan pembangunan sebaiknya seiring sejalan dengan peningkatan kualitas kehidupan. Masyarakat perlu didampingi untuk menghadapi arus perubahan, dibekali pendidikan yang memadai, sehingga saat wilayah mereka semakin tumbuh, rakyatnya sendirilah yang paling menikmati. Karena jika tidak, kita hanya mengulangi kesalahan rezim orde baru.

Dengan kaitkata , , , , , ,

Jalan Panjang Petani Rembang

Truk pembawa semen dan pasir hilir mudik di depan mereka. Dari balik tenda, beberapa warga masih setia menunggui simbol perjuangan itu yang terletak di sekitar pintu masuk pembangunan pabrik milik PT Semen Indonesia. Hari itu sudah hampir tengah hari di Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

 

20150415_122125

Siang itu, 18 April 2015, bulan kesepuluh mereka mendirikan tenda. “Ibu bumi iki wes njaluk tulung, ‘duh anakku iki tulungo aku,’ wis muni ngono paribasan.  Aku sadulur iki podo karo anake, sing upakara ibu bumi iki supaya tetap lestari, tur yo wong-wong sing uripe e ning ndeso iki yo ben tentrem, ben sejahtera urip e koyo ndisik-ndisik,” —(Ibu bumi itu sudah minta tolong, ‘duh anakku tolong aku,’seperti itu peribahasanya. Kami semua sebagai anak ibu bumi, yang menjaga ibu bumi agar tetap lestari, biar orang-orang di sini hidupnya di desa biar tentram, biar sejahtera hidupnya kaya dulu-dulu). Itu jawaban Sukinah, salah satu pelopor warga ketika ditanya alasan mereka bertahan.

Penolakan sebagian masyarakat di sana bukan tanpa alasan. Kehadiran pabrik semen dikhawatirkan mengganggu aliran mata air di pegunugan Kendeng Utara, tempat masyarakat bertani dan mencukupi kebutuhan pangan sepanjang tahun. Kementerian lingkungan hidup dan LIPI yang melakukan survei tahun 2014 lalu juga merekomendasikan agar Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) yang sudah dikantongi perusahaan semen sejak tahun 2012 dikaji ulang. Keberadaan biota yang memiliki peran penting seperti kelelawar, mata air dan fenomena lainnya merupakan indikasi fungsi lindung ekosistem karst. Laporan itu menyebut pemanfaatan karst akan memberikan ancaman bagi keanekaragaman hayati yang ada.

Masyarakat lalu menggugat keabsahan Amdal lewat PTUN Semarang. Setelah menjalani 18 kali sidang, hakim baru menyebut dalam putusannya bahwa gugatan mereka kadaluarsa karena telah melewati 90 hari sejak izin disosialisasikan. Pokok perkara terkait dampak lingkungan sama sekali tidak dibahas. Dalam kelelahan sejak berangkat pukul empat dini hari dari Tegaldowo kampungnya, Sukinah dan ibu-ibu lain sore itu memilih tidak menyerah.  Mereka menyatakan banding, yang kemudian diajukan ke PTTUN Surabaya, dan hingga kini tengah menanti hasil.

Penolakan pabrik semen juga dilakukan tetangga mereka di Kabupaten Pati. Usaha keras para petani di sana berhasil menggagalkan PT Semen Indonesia berdiri di kawasan itu lewat keputusan Mahkamah Agung tahun 2010. Dua tahun kemudian datang lagi PT Indocement. Mereka kembali melawan. November 2011, gugatan warga atas izin Amdal perusahaan tersebut dimenangkan oleh PTUN Semarang. Kasus mereka kini juga berlanjut ke PTTUN Surabaya setelah perusahaan semen dan pemerintah daerah menyatakan banding.

Pertanian kuwi dadi soko gurune negara, lha Jawa Tengah iki sejarahe simbahku iki lumbung pangan nganggo nuswantara, ora mung lumbung pangan nganggo Jawa Tengah tok, ning sak nuswantara, Jawa iki diperang dadi telu: Jawa Timur, Jawa Tengah, lan Jawa Barat, nek umpamae Jawa Timur iki sikil e, Jawa Barat iki sirahe, Jawa Tengah iki wetenge, dadi tengah nggon pangan. Mulane jaman simbahku biyen, Jawa Tengah ora oleh didekke pabrik semen. (Pertanian itu menjadi landasan suatu negara. Jawa Tengah ini menurut sejarahnya kakek nenekku dulu itu lumbung pangan se nusantara. Tak cuma di jawa tengah saja tapi juga se nusantara. Jawa ini dibagi menjadi 3: jawa timur, jawa tengah, jawa barat. Umpamanya Jawa Timur itu kakinya, Jawa Barat kepalanya, Jawa Tengah ini perutnya, jadi sumber pangan. Sejak zaman buyutku dulu, Jawa Tengah gak boleh dibangun pabrik semen,” kata Gunarti, warga desa Sukolilo, Pati.

Pabrik semen datang karena batuan karst pegunungan Kendeng yang mengundang. Kedatangan korporasi memberikan keuntungan investasi bagi pemerintah daerah.  Bagi masyarakat sekitar? Janji lapangan kerja yang justru mengkhawatirkan mereka. Tak lama lagi akan menjadi buruh pabrik atau keamanan, mendapat gaji tapi makan harus membeli. Padahal sekarang mereka sudah menjadi tuan di tanah sendiri.

Sukinah memiliki ladang jagung, palawija, serta sawah, yang ia panen dua hingga tiga kali setahun. Mereka makan dari apa yang mereka tanam dan menyekolahkan anak dari hasil pertanian. Para petani ini hidup sejahtera dari alam. Mereka tak butuh pekerjaan, apalagi pabrik. Perjuangan mereka melestarikan alam adalah upaya untuk terus hidup sentosa.

Setiap melihat gunung masih utuh, melihat pertanian itu hijau subur itu senang. Terus mata air itu masih semula itu senangnya bukan main. Soalnya senang seperti itu tidak bisa dibeli dengan uang. Tidak bisa diganti dengan materi. Itu sejahtera yang tidak bisa dibeli,” jelas Sukinah.

Pemerintah yang menggaungkan swasembada pangan seharusnya memberdayakan masyarakat agar mendapatkan hasil tani yang lebih baik. Mendorong anak-anak mereka melanjutkan pendidikan di bidang pertanian dan pulang ke desa mengembangkan lahannya masing-masing. Modernisasi tak mesti disikapi dengan memasukkan industri, melainkan dengan menerapkan teknologi di dunia tani. Lahan pertanian luas yang mereka butuhkan.

Selasa, 12 April 2016, Sukinah dan delapan ibu-ibu lain kembali datang ke Jakarta. Setahun sebelumnya mereka menabuh lesung di depan istana, mengingatkan presiden adanya ancaman kelestarian lingkungan. Simbol kegentingan itu dianggap angin lalu. Maka pada kedatangan kali ini, mereka mengorbankan kaki sendiri untuk dipasung dengan semen.

Ibu-ibu ini maju bukan karena mengharap simpati, bukan pula karena para lelaki tak peduli. Mereka sengaja berdiri di depan untuk menjamin segala bentuk perlawanan dilakukan tanpa kekerasan. Ia sekaligus  sebuah simbol kala keluarga dan kehidupan anak cucunya kelak mulai terancam.

“Aku udah hilang akal bagaimana caranya pemerintah mau dengar. Ya udah semen aja kaki ini,” kata Sukinah. Ibu-ibu tangguh ini pernah mendapat pukulan aparat, berjalan kaki ratusan kilometer, dan bergantian menjaga tenda di depan tapak pabrik hingga hari ke-678 ini.

Usaha mereka kali ini pun tak kunjung bertemu Jokowi. Meski kali ini ada janji dari dua pejabat yang diutusnya. Tapi mereka tak akan lelah. Mereka manusia-manusia yang menolak tunduk pada ketergesaan zaman. Berani memperjuangkan apa yang mereka yakini.

“Mending kita itu sakit sekarang daripada nanti anak cucu yg merasakan sakit, merasakan dampak-dampak itu. Kalau sakit sekarang pasti nanti ada manisnya gitu loh. Walaupun sekarang kita susah memperjuangkan ini semua tapi suatu saat kita pasti akan mendapatkan kemanisan itu,” tekad Sukinah.

Perjalanan masih panjang. Para petani ini harus terus bertahan dari segala luka perih. Mereka orang-orang yang terus berjuang sekeras-kerasnya, sehormat-hormatnya.

Tahun Ke-26

Pada malam sebelum lusa harinya memasuki tahun baru, aku membuat catatan ini. Bukan tulisan refleksi, apalagi resolusi. Aku tak suka mengumbar janji. Hanya ingin mengingat-ingat saja, bagaimana tahun ini patut diakhiri.

Hari ini setahun yang lalu, sempat punya dua keinginan besar bagi setahun ke depan. Salah satu saja sebenarnya, kalau yang satu tak dapat berarti satu yang lain. Tapi hingga hari ini, dua-duanya pun rupanya tidak. Tak perlulah kujabarkan apa-apa saja itu. Biarlah masa lalu terbang ke belakang. Aku ke depan.

Dua menghilang, kejutan lain datang. Badan berlemak lebih ini menginjakkan kaki di banyak tempat baru. Nama-nama yang sebelumnya tak pernah masuk dalam daftar khayal. Berminggu di pedalaman Asmat, Bermandi matahari di Raja Ampat, berdebur sepoi di Alor, hingga menikmati romantika Jogja. Sungguh aku tak punya khayalan berkelana. Fantasiku hanya leyeh-leyeh di sebuah pondok tepi laut.

Melancong selalu memberi banyak pelajaran. Seorang Pak Guru di Sorong mengingatkan untuk selalu menggunakan akal sehat. Walau tradisi, kalau sudah mengganggu makhluk hidup lain tak ada alasan diteruskan, katanya. Keberanian hidup kudapat dari Pastor Vince di distrik Sawaerma. Pilihannya mendedikasikan hidup bagi orang Asmat, membuat penyakit kusta yang mewabah di dua desa mulai terungkap. Begitu pun Bu Sukinah di Rembang. Godaan uang itu kadang terlalu kuat hingga bikin kita tak bisa hidup tanpanya. Padahal tak semua senang bisa dibeli dengan uang. Termasuk pertanian hijau subur yang dimiliki Bu Kinah. Maka bunuh diri kelas ala Faiz di bantaran kali Gajahwong pun layak mendapat hormat. “Saya tetap bisa bertanggung jawab pada keluarga tapi mimpi saya untuk berguna bagi masyarakat juga tetap bisa.” Ia pindah dan ikut tinggal di kawasan kumuh yang dibinanya. Kupikir, pada akhirnya kita pun bisa terus hidup melalui jalan yang kita senangi.

Lalu apa hasilnya berbagai pelajaran tadi pada hidupku? Sekali lagi ini bukan tulisan refleksi. Jadi tak perlu ada kait mengait antara apa yang kudapat dan apa yang kulakukan. Karena galau justru bersuka ria di tahun ini. Kegagalan dua angan itu terwujud memaksa diriku mencari-cari capaian lain. Sebagai penutup kekecewaan, atau sekadar menaikkan lagi kepercayaan diri. Daya upaya yang rupanya juga tak terwujud hingga tahun ini habis. Aku masih saja terjebak pada tatanan sosial tertentu. Levelnya masih jauh di bawah orang-orang yang kutemui tadi. Jauh sekali.

Nyatanya saat ambisi tak lagi mendominasi, pandangan tak sesempit kamar kos-kosan. Aku tak lagi memaksakan target. Pilihan keluar dari pekerjaan termasuk imbas dari pandangan yang sudah seluas lautan itu. Kalau ada tagar keputusan paling gila tahun ini, dialah jawaranya. Bahkan sehari setelah resmi berhenti tanggal lima januari nanti pun aku belum punya agenda apa-apa.

Kegilaan satu membawa pada kegilaan lain. Aku kembali menjalin hubungan. Apalah artinya hubungan jarak jauh dan tanpa pekerjaan, kalau bunuh diri kelas saja bisa Faiz lakukan. Yah.. walaupun bunuh diri pulsa yang baru bisa kami buat.

Begitulah. Ada banyak hal yang kuinginkan, perjuangkan, tak juga kudapatkan. Tapi ada hal-hal yang tak pernah terlintas, terbayangkan, justru ku dapatkan. Allah maha mengetahui bukan. Jadi kupikir biar saja seperti air yang mengalir, yang penting deras alirannya.

Selamat datang tahun penuh kegilaan!