Hari ini setahun yang lalu aku tiba di Manila. Sabtu, 19 Mei 2017. Saat itu bukan kali pertama menginjakkan kaki di Filipina, tapi untuk pertama kali akan tinggal di negara yang berbeda. Memulai pekerjaan baru, kehidupan baru.
Rasanya antusias. Waktu duduk di bangku SMA, aku mengimpikan kelak menjadi seorang diplomat. Menetap di satu negara dalam kurun waktu tertentu lalu pindah lagi bertugas di negara lain. Meski kemudian aku kuliah di jurusan Komunikasi, bukan HI, tapi angan itu masih terus kukejar dengan memilih magang di Kemenlu. Kesempatan yang akhirnya membuatku sadar, ketertarikan menjadi diplomat bukan karena profesinya tapi karena ingin punya pengalaman tinggal di berbagai negara berbeda.
Hari itu mimpi 10 tahun lalu menjadi nyata. Walau Filipina bukan negara yang pernah ada dalam imajinasiku, terbersit pun tak pernah. Dibalik rasa antusias itu ada rasa khawatir pada berbagai kabar yang selalu kita dengar di Indonesia; penculikan nelayan, gembong narkoba, hingga kekejaman Duterte. Apakah ini akan menjadi negara yang bersahabat atau harus selalu waspada setiap saat?
Hari pertama bekerja dipenuhi berbagai kejutan seru. Kami, tiga orang karyawan baru hari itu, memulainya dari dapur. Memotong brokoli, membuat lemon tea, membuang stiker yang menempel di kulit apel, hingga menyajikan makan siang bagi sekitar 250 Imagineers. Migo menyebut seluruh karyawannya sebagai Imagineer, gabungan dari imagination dan engineering.
Aku bekerja di Migo. Start-up di bidang inovasi teknologi yang menyediakan akses bagi konten hiburan tanpa perlu menggunakan koneksi internet. Ia bermarkas di Taipei, Taiwan, namun menjalankan operasi bisnisnya di Manila, Filipina. Kultur perusahaan ini memang berbeda, setidaknya bagiku. Itu pula yang menjadi motivasi utamaku tertarik bergabung di sana. Kesempatan tinggal di luar negeri kemudian menjadi sebuah bonus yang melengkapi keputusan itu.
Seminggu pertama itu kami lewati dengan berbagai sesi, di kantor maupun di kawasan pemukiman, tempat produk Migo tersedia. Memahami peran tiap karyawan, hingga memahami Manila dan kehidupannya. Filipina adalah bangsa yang cukup terbuka dengan pendatang. Seringkali mereka bahkan lebih ramah begitu mengetahui aku pendatang dari negara lain, setelah semula mengira aku pinoy, orang lokal.
Indonesia, Malaysia, dan Filipina, berasal dari ras yang sama, Austronesia. Membuat perawakan manusianya hampir sama. Ini menjadi keuntungan sekaligus tantangan bagiku. Suatu kali saat sedang jalan-jalan ke Vigan, 10 jam perjalanan busa dari Manila, kami terlibat tawar menawar dengan seorang pengelola rental mobil. Kami berusaha tak terlihat sebagai turis asing, khawatir mendapatkan harga yang lebih mahal. Namun ia mulai curiga saat kami kerap meresponnya dengan Bahasa Inggris. “Ano ng pangalan mo po?” kataku seketika. Aku menanyakan namanya siapa. Tak begitu nyambung dalam kaitannya dengan negoisasi harga, tapi cuma itu kalimat dalam bahasa Tagalog yang terlintas di kepalaku. Hasilnya, pembicaraan itu berakhir dengan harga yang kami inginkan.
Keuntungan “harga lokal” memang sering kami dapatkan. Meski pada banyak kesempatan lain kami harus mengakui berasal dari Indonesia atau sok-sokan bertagalog dengan kosa kata yang terbatas. Satu kali dalam sebuah perjalanan dari Batangas menuju Manila, aku bertanya pada pengemudi bus, jam berapa kita akan berangkat. “Anong oras po?” tanyaku. “Wala bla bla bla bla bla bla..,” jawabnya panjang lebar. Tak satu pun yang kumengerti. Tak ada angka di sana. Yang kudengar kemudian adalah derai tawa teman-teman.
Filipino (sebutan bagi orang Filipina) sebenarnya memiliki pemahaman Bahasa Inggris yang cukup baik. Sejak Amerika membeli kepulauan ini dari Spanyol tahun 1898, mereka mengajarkan bahasa Inggris secara masif, menggunakannya dalam ruang-ruang kelas sampai pemerintahan. Hingga munculah Taglish, percampuran Tagalog dan English, yang menjadi bahasa sehari-hari masyarakat di Manila hingga kini.
Kondisi ini menjadi keuntungan bagi para warga negara asing. Komunikasi bukan kendala berarti. Membuat kami beberapa orang Indonesia ini tak ragu untuk bepergian menjelajah sana sini. Saat tawar menawar gunakan Tagalog yang seadanya itu, sedang urusan lain cukup berbicara bahasa Inggris.
Orang-orang Indonesia itu adalah teman-teman baru yang kutemui di sana. Di Migo, aku bersama Ina dan Susi, dua alumni Pengajar Muda (PM) dari berbeda angkatan. Lalu kami bertemu alumni PM lain, Angga, yang kemudian menghubungkan kami pada teman-teman Indonesia lain di Nestle, tempat mereka bekerja. Kami kemudian menjadi teman perjalanan, menjelajah banyak tempat di negara itu, hingga menjadi keluarga baru, mengisi kerinduan di perantauan.
Saat rindu makanan Indonesia, kami masak bareng. Rindu nonton film Indonesia, kami nonton bareng. Rindu berbicara menggunakan bahasa Indonesia, kami tinggal ketemu dan saling ledek satu sama lain.
Rasa senasib di rantau juga membawaku pada teman-teman lain lewat pengajian dua mingguan di Masjid At-Taqwa KBRI Manila. Sharing destinasi wisata, makanan halal, perkara transfer peso ke rupiah, hingga mengenal komunitas muslim filipino lain. Lewat jejaring pengajian ini pula kami memiliki suplai sambal yang rutin tiap minggu.
Kebaikan teman-teman Filipino di kantor juga satu hal yang patut disyukuri. Selain ramah dan terbuka, mereka juga senang menjadi guide, mengenalkan kami pada hal-hal menarik di negaranya. Mel Jamora menunjukkan kami Golden Mosque dan Muslim Town di Quiapo saat bulan puasa tahun lalu. Itu kali pertama ia memasuki masjid. Kami lalu ngabuburit di kota tua Intramuros dan belajar tentang Rizal, sang pahlawan nasional. Pada akhir pekan yang lain ada Peter yang membawa kami menyusuri Metro Manila dengan ferry, mengarungi sungai Pasig. Orang Manila sendiri tak banyak yang pernah menaiki transportasi alternatif ini karena tak tahan dengan aroma sungai itu. Kami lalu dikenalkan pada pusat-pusat keramaian macam Baclaran yang menjual barang-barang dengan harga miring, hingga pusat grosir Divisoria dan Recto. Dua tempat terakhir bersama Dexter, yang merelakan hari liburnya berdesak-desakan dengan kami di sana.
Ada banyak tempat dan teman-teman lain yang membantuku mengenal Manila. Eds misalnya salah satu kawan yang cukup sering mengajak ke UP (University of Philippines), almamaternya dan mengeksplorasi makanan-makanan lezat di sana. Ada yang ngajak ke museum, hingga nonton bintang bertebaran di planetarium. Rangkaian aktivitas yang membuatku sadar meski sudah tinggal hampir lima tahun di Jakarta, aku belum pernah ke planetarium atau menjelajahi museum-museum di Kota Tua.
Setahun ini rasanya berhasil membuatku terus belajar. Beradaptasi dengan lingkungan baru, orang-orang baru, kultur yang berbeda, dan melihat Indonesia dari luar. Kita perlu bersyukur sebagai orang Indonesia, tapi tak ada yang bisa disombongkan, apalagi sok tahu. Menyadarkanku untuk terus membaca lebih banyak buku, lebih rajin mendengar, dan melangkahkan kaki lebih sering, lebih jauh.
Rasanya inilah dulu tujuan dari mimpi masa remajaku. Mengunjungi suatu negara bukan sekedar jalan-jalan ke tempat wisata, tapi juga mengenal masyarakat, budaya, sejarah, hingga sosial politiknya. Menetap dalam jangka waktu tertentu memberikan kesempatan untuk mengeksplorasi hal-hal tersebut.
Pertanyaanku saat awal datang dulu bisa jadi benar keduanya. Manila cukup bersahabat dengan orang-orang-orangnya yang terbuka tapi juga perlu selalu waspada dengan mudahnya kepemilikan senjata api di sana. Angga temanku, pernah ditodong pistol saat hampir sampai di depan kontrakannya, membuat ia terpaksa memberikan segala barang berharga. Atau saat menitipkan barang sebelum masuk ke ruangan planetarium, handphone kami bersebelahan dengan titipan pistol milik orang lain. Aku bersyukur tinggal di kawasan yang relatif aman dan sangat nyaman untuk berkehidupan sehari-hari.
Hari ini di hari yang sama pada tahun lalu, 12 bulan terlewati. Perjalanan itu ada naik dan turunnya. Merasakan sepinya berpuasa saat Ramadhan, tapi kemudian begitu sumringah melihat lontong opor di KBRI saat Lebaran. Masih banyak sudut Manila yang belum kujelajahi, pertanyaan-pertanyaan sosiokultural yang belum menemukan jawaban, hingga pekerjaan di kantor yang tampaknya akan memasuki babak baru.
Hidup di rantau memang tak selalu memberikan rasa nyaman. Tapi pengalaman baru yang didapat tiap saat tak hanya memberi perspektif baru, sering kali ia juga menjadi jalan untuk semakin mengenal dirimu.
Kita-kits!
Sabtu, 19 Mei 2018, dalam perjalanan Manila-Jakarta untuk sebuah jeda.