Vira Ical

“Aku mau cerita Nan. Hmm.. Hihihi. Gak jadi deh. Hihihi..”

Aku sedang sarapan di sebuah warung kue di Larat saat Vira berbagi tawanya itu lewat selular. Di hadapanku ada Uun, yang heran lihat ekspresi bingungku. Dan selama beberapa waktu yang terdengar hanya tawa Vira berderai-derai. Belum pernah aku melihatnya seriang itu. Ia kasmaran.

***

Setahun sebelum itu, aku terlibat obrolan panjang dengan Ical. Saat itu kami masih mengikuti pelatihan pengajar muda di Jatiluhur. Banyak hal kami bicarakan malam itu, dari perkara pekerjaan sampai pilihan pasangan. Ia hanya tersenyum kala aku menyebut nama Vira dalam kriterianya.

Saat itu nama mereka memang sering menjadi bahan “gocekan” teman-teman. Entah apa musababnya, Vira yang berada di camp yang sama, sering kami kaitkan dengan Ical. Hingga pada suatu malam Vira meminta agar mereka tak lagi digoda. Ungkapan “cie cie” itu rupanya membuat hatinya bergetar.

“Makin lama kok aku makin punya rasa ya. Ini gak boleh. Ini bisa mengganggu komitmenku untuk menjaga hati,” katanya.

Setelah digosipkan, mereka terlihat makin canggung. Semakin jarang ada ruang bicara yang mempertemukan mereka. Pelatihan usai. Vira tugas ke Tanimbar, Ical ke Bima.

***

Enam bulan setelah keberangkatan masing-masing, mereka kembali bertemu. Entah disengaja atau tidak, Vira dan Ical menghabiskan sisa cuti di kota yang sama, Makassar. Datang dengan rombongan dan tujuan yang berbeda, mereka bertemu bersama teman-teman lain. Momen berdua baru mereka dapati di bandara, sesaat jelang berangkat. Ical memberi dodol khas Lombok. Sepersekian detik yang kemudian begitu dikenang Vira.

***

Enam bulan berikutnya mereka kembali saling menahan diri. Dodol memang sempat mengganggu, membuat Vira galau beberapa waktu. Tapi ia berusaha komit.

“Aku harus menjaga hati.”

Sampai pada momen aku bertelpon dengannya di warung kue itu. Waktu itu sekitar bulan Mei 2013. Ia baru menemukan 2 foto yang pernah dikirim Ical 9 bulan lalu di hardisknya. Foto tulisan di atas pasir dari dua pantai berbeda.
Pantas Vira tersipu-sipu.

***

Saat kami berkumpul lagi usai masa tugas, Ical justru ragu melangkah.
Vira saat itu memiliki niat segera menikah menikah. Keinginan orang tua, sekaligus target pribadinya. Ical tak siap. Masih ada kakaknya yang tak boleh dilangkahi. Pada Vira ia sampaikan langsung “keikhlasannya” jika ada lelaki lain yang datang serius.

Tapi rupanya hati Vira sudah kadung memilih. Beberapa pria yang datang silih berganti menemui orang tuanya ia tolak dengan beragam alasan. Ia tak mampu berpindah ke lain hati.

Setahun berlalu, mereka tak juga sering bertemu. Tapi rasa itu tetap sama, terus terjaga.

Hingga dalam beberapa jam lagi, mereka akan kembali bertemu. Kali ini tak lagi saling pandang semu; tapi sebuah awal perjalanan baru.

Buah dari segala sabar dalam penantian, jawaban dari segala tanya yang merisaukan.
Savira kan memanggilnya suami, Faisal memanggilnya istri.

***

KA Bangunkarta, 6 Februari 2015, 00.32 WIB.
*ditulis dalam perjalanan Jakarta-Jombang, untuk pernikahan mereka.

Tinggalkan komentar