Anak Pelacuran

Ketika Anak-anak Menjadi Korban Praktek Pelacuran.

Cinta satu malam

Oh indahnya

Cinta satu malam

Buatku melayang

Walau satu malam

Akan selalu ku kenang

Selama-lamanya…

BAIT lagu Melinda dengan judul Cinta Satu Malam terdengar di rumah Gang III, pusat lokalisasi di Bandar Lampung. Dentuman musik yang dihasilkan membuat dua buah speaker 2500 watt bergetar menghasilkan suara, menggoda para lelaki yang haus kepuasan. Mencari cinta dalam semalam.

Waktu itu awal Oktober. Lila terlihat duduk di teras rumah. Wajahnya dilapisi bedak tebal. Eyeliner hitam kebiruan melingkari sepasang matanya. Lipstik merah tebal menempel di bibir. Kaos ketat lengan pendek dan hotpans menjadi setelannya. Malam itu seperti biasa, Lia tengah menanti pelanggan.

Seorang pemuda yang mengaku mahasiswa datang. Diantar temannya, ia langsung bernegoisasi dengan Lila. Mencapai kesepakatan, mereka langsung menuju kamar. Pemuda itu baru pertama kali menjajal wanita malam. “Dia baru pertama kali nyoba, badannya keringat dingin. Malu-malu dia waktu masuk ke sini,” ucap Toni, pemilik rumah tempat Lia mondok, sambil tertawa. Toni sedang sarapan ketika kami menemuinya, 8 November 2010.

Cuplikan peristiwa tersebut hanya satu dari sekian banyak kisah yang terjadi setiap malam di sana. Pemandangan, sebuah lokalisasi pelacuran di Bandar Lampung. Kawasan tersebut seluas tiga hektar, yang dibagi dalam lima gang. Hampir setiap rumah di gang-gang tersebut merupakan lahan prostitusi.

Toni baru tiga bulan memulai bisnisnya. Bersama istri dan putra kecilnya, ia tinggal di rumah itu. Beberapa wanita secara berganti menjadi teman mereka, mencari penghasilan di rumah itu. Mereka makan dengan piring yang sama.

“Mertua saya yang menyuruh membuka bisnis ini,” cetus Toni. Mertua Toni telah lebih dulu membuka bisnis itu, sejak puluhan tahun lalu. Ia mendapatkan uang dengan menyewakan kamar-kamar di rumahnya. Untuk 30 menit, ia mengutip Rp 30 ribu per kamar. Ia tinggal mencari wanita malam yang akan menjadikan rumahnya sebagai homestay. “Saya buka dari jam 7 malam sampai jam 2 pagi,” ucapnya.

Kamar yang disewakan milik Andi

Satu minggu yang lalu Toni pulang ke Serang. Jumat malam itu ia sempatkan berkunjung ke lokalisasi di sana. “Sekedar mencari hiburan,” ujarnya. Oleh temannya, ia kemudian dikenalkan dengan Lila. Seorang pelacur yang sedang tak banyak peminat. Andi lalu mengajak Lila menyebrang ke Lampung, mencoba peruntungan di sana.

**

EMPAT bulan lalu Toni merupakan seorang staf marketing di sebuah perusahaan retail perdagangan, PT Ganda Utama. Ia bekerja di Bogor, salah satu cabang perusahaan, yang berpusat di Cempaka Mas, Jakarta tersebut.

Pria kelahiran 31 tahun lalu ini hidup terpisah dengan keluarga. Istri dan anaknya tinggal di Lampung, kota asal mertuanya. Selama tiga tahun sejak ia menikah 2007 lalu, bolak-balik Bogor-Lampung dilakoni setiap akhir pekan. Hampir setengah dari gaji Toni habis untuk biaya transportasi. “Ongkos jalan itu yang berat.”

Mertua Toni kemudian menyarankan agar ia pindah ke Lampung, membuka usaha “sewa kamar” di kawasan Pemandangan, salah satu lokalisasi di kota tapis itu. Mertua Toni merupakan tokoh senior di sana. Sejak tahun 1980-an anak istrinya hidup dari usaha itu. Menantunya lalu diberikan salah satu rumah miliknya. Toni pun tak perlu bolak-balik lagi setiap minggu. Ia bisa mengisi hari-harinya bersama istri dan anak tercinta, plus wanita lain.

“Sempat malu awalnya.” Ia merahasiakan usaha ini dari orang tuanya di Serang. “Keluarga saya dari Islam fanatik,” ungkapnya. Ia berjanji, sampai kapan pun tak akan memberitahukan pekerjaan ini pada keluarganya di Serang.

Putra Toni berumur tiga tahun. Gilang Putra namanya. Kulit putih dan rambut gondrong, Menggemaskan. Sesekali balita kelahiran 23 Oktober itu ngelendot di pangkal paha ayahnya. “Kalau malam dia tidak boleh keluar kamar. Jam 7 malam biasanya sudah tidur.” Begitu cara Toni melindungi anaknya dari kehidupan malam di rumah mereka.

Toni sebenarnya khawatir dengan masa depan anaknya jika hidup di tempat tersebut. “Jika dibesarkan di sini, pasti ntar anaknya bakal kayak gini,” ujarnya sembari mengarahkan jari telunjuk ke dadanya. Penggemar Iwan Fals ini sadar, tak boleh berlama-lama membiarkan keluarga kecilnya tinggal di tempat itu.

Targetnya? “Saat umur anak 4 tahun, saya harus meninggalkan usaha ini,” harapnya. Ia memang tak nyaman hidup berkeluarga di sana. Apalagi tak jarang, istrinya juga ikut ditawar oleh klien yang datang. Kalau sudah seperti itu tak ada yang bisa dibuatnya selain menegur lelaki itu.

Gilang yang sejak tadi ngelendot di paha Toni tiba-tiba merengek. Alunan musik dari odong-odong sepeda di depan rumah, membangkitkan hasratnya bermain. Rengekannya semakin keras saat ayahnya tak mengizinkan. Tak tega, Toni kemudian menggendong Gilang dan mendudukkannya di bangku sepeda odong-odong itu. Toni meninggalkannya bermain sendiri. Dihadapan Gilang, Lila duduk di teras rumah. Menanti lelaki yang iseng ingin ‘bermain’ di siang hari.

**

HONDA astrea supra 125 parkir di depan rumah. Cat merah muda melapisi dinding luar. Bagian depan mulai terkelupas. Nyaris memudar. Pintu rumah terbuka. Radit duduk di depan pintu. Memegang helm warna biru. Di depannya Yulianti, memakai kaos ketat dan jeans biru, sepatu coklat. Bibir tipis mengembang, menyambut kedatangan kami. Matanya sayup.

Yuli berusia 20 tahun, asal Pandeglang. Sejak lulus SMA dia tak melanjutkan kuliah. Pergi kerja ke Jakarta. Mendapat pekerjaan sebagai babysister, tahun 2008. Yuli pun keluar alasannya karena gaji tak mencukupi. Setelah itu ia bertemu dengan temannya, diajak kerja pada sebuah bar di Jakarta. Yuli yang ingin hidup mandiri pun menyetujui ajakan temannya.

Melayani dan menemani tamu minum bir dilalui selama lima bulan. Ia juga menjalin kasih dengan teman kerjanya. Hubungan mereka berlangsung layaknya suami istri. Hingga benih bayi tertanam di tubuh Yuli. Namun pria itu tak mengakui sebagai hasil perbuatannya. “Ia menganggap saya bermain dengan banyak lelaki,” ucap Yuli dengan tatapan kosong.

Wanita lulusan SMA ini kemudian berniat menggugurkan kandungannya. Tapi niat tersebut urung terjadi. Bayinya tak bisa digugurkan.

Hamil tua menyebabkan ia berhenti bekerja. Yuli tak pernah memberi tahu hal ini pada orang tuanya. “Saya mah takut dengan bapak saya,” ujarnya.

Yuli melahirkan di Bogor. Di sebuah rumah sakit. Karena belum menikah maka anaknya diasuh oleh bibinya. “Waktu di rumah sakit ya, anak saya diminta sama bos kafe. Tapi bibi nggak ngasih,” ucapnya lirih.

Anak Yuli kini telah berumur 8 bulan. Tiara nama gadis kecil itu. Ia kini tinggal bersama bibi Yuli di Jakarta. Ibu Yuli di Pandeglang tak bersedia menerima anak itu. Aib keluarga lebih utama. Tiara harus rela tak merasakan air susu ibunya. Sang ibu sedang mencari nafkah untuk kelangsungan hidupnya, di sebuah pusat lokalisasi, beribu kilometer dari kasurnya.

“Saya harus membebaskan pikiran dari anak saya,” ucap Yuli pelan. Pekerjaan menuntutnya untuk selalu ceria. Tak boleh sedih apalagi menangis. Namun Yuli tetaplah seorang ibu, memiliki hubungan batin dengan anaknya.

“Kalau nelfon, saya hanya mendengar suara tangisannya. Saya tidak tahan, ikutan menangis juga.” Yuli akhirnya memilih untuk jarang berhubungan dengan Tiara. Ia tidak boleh terlalu memikirkan anaknya.

Anak kedua dari dua bersaudara ini belum tahu sampai kapan akan berpisah dengan anaknya. Pendapatan sekitar Rp 7 juta perbulan dirasanya lebih dari cukup untuk membesarkan anak. “Anak saya jangan sampai tahu pekerjaan ibunya. Saya ingin dia nanti masuk pesantren.”

Wanita yang mengaku pernah melayani anak SMP ini, juga belum terpikir untuk mencari ayah bagi anaknya. Padahal Radit, pacarnya, sudah mengajaknya ke arah yang lebih serius. Yuli membiarkan hidupnya mengalir seperti air, mengikuti ke mana arus berjalan. Ia masih ingat pesan ibunya, sebelum berangkat ke Lampung, “Ya kumaha Yanti bae. Yang penting no hade.”

**

KAMAR tidur itu luasnya 2×3 meter. Di dalamnya hanya muat satu buah tempat tidur tunggal, berukuran satu orang. Coretan-coretan memenuhi dinding kamar berwarna krem itu. Sebuah poster F4 –grup musik asal Taiwan, menjadi satu-satunya pajangan kamar. Gorden merah menutupi jendela kamar. Debu menyelimuti kainnya, tanda gorden itu jarang dibuka. Di bawahnya Lila menangis. Bersandar pada sudut kamar, sekaligus ruang kerjanya.

Tetesan air membasahi bingkai foto itu. Seorang anak perempuan berusia 7 tahun tersenyum di dalamnya. Lila mendekap foto itu. Ia tak kuasa menahan tangis. Perempuan itu putrinya, Fida. Hasil pernikahan dengan mantan suaminya. Fida kini tinggal bersama sang nenek di Serang, Banten.

Lila tak pernah mampu menahan tangis saat mengingat putrinya. Anak itu tak tahu pekerjaan ibunya. Lila bahkan tak sempat menemui anaknya sebelum berangkat ke Lampung. “Saya harus meninggalkan dia untuk bekerja. Mantan suami saya juga tidak peduli,” keluh Lila. Ayah Fida kini telah menikah lagi.

Lila mengaku betah hidup di lingkungan Pemandangan, Lampung. Alasan utama tentu soal pendapatan, yang terbilang lumayan. Meski pada hari-hari biasa sepi, ia mampu menutupinya saat malam minggu. “Paling tidak bisa tiga orang per malam,” ungkapnya.

Ia belum terpikir kapan akan pulang ke Serang dan hidup bersama anaknya. Keluarganya juga tak tahu dari mana asal uang yang selalu mereka terima tiap bulan. “Nyari uang kan juga buat anak,” ucap Lila dengan nada ketus.

**

SORE itu Jumat, 8 Oktober 2010, Arief bersama tiga temannya duduk menyandar di ujung jalan Gang 4, Lokalisasi Pemandangan. Mereka sedang menanti teman-teman lainnya. Mau bermain bola kaki melawan desa sebelah. Arief saat ini duduk di kelas 4 SD. Teman-temannya seusia dengannya.

Arief tinggal di gang itu. Sementara yang lain berbeda gang dengannya. Ia mengaku kawasan tempat tinggalnya mulai ramai menjelang malam hari. “Kalau malam kami tidak boleh keluar lagi, di rumah saja,” ucap Arief polos.

Arief tak tahu persis kenapa kampungnya selalu ramai jika malam. Tapi temannya, seorang pelajar SMP pernah berkata sesuatu padanya. “Kampung kita terkenal karena banyak ceweknya. Makanya kalau malam banyak yang cari cewek ke sini,” ucap Arief menirukan pernyataan temannya.

Gilang, Tiara, Fida, maupun Arief, merupakan salah satu contoh nyata dampak praktek pelacuran pada anak-anak. Meski dengan kasus yang berbeda, mereka tetap menjadi korban langsung dari perbuatan orang tua mereka. Harus menanggung aib dan sanksi sosial di masyarakat. Gilang dan Arief juga berpeluang meneruskan usaha orang tuanya di Pemandangan.

Empat orang ini jelas hanya contoh kecil dari besarnya dampak “industri” ini di seantero negeri, pada anak-anak. Mereka –anak-anak merupakan generasi penerus bangsa ini. Tanpa disadari, sisi lain dari praktek ini juga berdampak luas pada orang-orang tak berdosa sekalipun.

Anak-anak di lingkungan lokalisasi

*Tulisan ini merupakan tugas praktek lapangan pada Pelatihan Jurnalistik Mahasiswa Tingkat Lanjut di Bandar Lampung. Liputan ini dikerjakan bersama dengan Erliana dari LPM Bahana Universitas Riau, namun tulisan ini diselesaikan oleh penulis. Identitas narasumber pada tulisan ini telah disamarkan.

Dengan kaitkata , , , ,

3 thoughts on “Anak Pelacuran

  1. andi aja berkata:

    ya, begitulah drama kehidupan, sangat dilematis dan problematik, tapi jangan pernah menyerah oleh getirnya hidup. Tetaplah berharap pada Tuhan.

  2. apa aja dilakukan demi melanjutkan hidup… nice info, kerasnya kehidupan 🙂

Tinggalkan komentar